AKANKAH MADRASAH PUNAH ?

 

Hingga sebelum tahun 2010 sebagian besar anak-anak menjalani dua pendidikan sekaligus. Pagi mereka menimba ilmu di bangku pendidikan formal kemudian sorenya mereka menimba ilmu di bangku madrasah. Mereka terlihat begitu bahagia berlarian menuju surau terdekat sebelum magrib, melakukan adzan dan pujian sebelum sholat magrib dilaksanakan. Kemudian selepas sholat magrib mereka menalar apa yang telah mereka pelajari kemarin sembari menunggu guru datang.

Hal ini biasanya disebut dengan ngaos, melakukan pendidikan non formal keagamaan. Hal ini dilakukan oleh mayoritas anak-anak beragama islam.  Pada tahun 2002 hingga 2010 biasanya anak-anak dari berbagai usia berbondong-bondong menuju madrasah selepas magrib hingga selepas isya. Pada anak-anak usia TK biasanya madarasah akan dimulai selepas asar hingga sebelum magrib. Anak-anak usia TK dan SD akan menuju madrasah terdekat yang terkadang disebut dengan TPA (Taman Pendidikan AL-Qur’an) atau TPQ. Anak-anak usia SMP dan SMA akan menuju madrasah tingkat lanjutan yang disebut dengan tarbiyah.

Pada era itu, yakni tahun 2002 hingga 2010 nampaknya semua orang tua sepakat bahwa anak-anaknya harus ngaos setiap hari di madrasah terdekat. Mereka menyadari dengan betul bahwa ngaos dapat mendidik perilaku dan moral anak sehingga menjadi anak yang berbakti kepada orang tua dan bermanfaat di masyarakat. Para orang tua berharap bisa mendapatkan doa dari anak-anaknya ketika mereka nanti sudah meninggal karena mereka percaya bahwa doa anak yang sholeh adalah amal jariyyah yang tidak akan terputus bagi orang tuanya walaupun orang tuanya telah meninggal dunia doa tersebut akan terus mengalir dan meringankan siksa kubur.

Apabila dilihat sepertinya melelahkan karena mereka terkadang harus pulang setidaknya pukul sembilan malam. Namun, kala itu mereka tidak begitu risau dan menganggap hal tersebut melelahkan. Dengan menimba ilmu di madrasah mereka mendapat pengalaman yang sangat besar. Selain menambah teman dari berbagai latar belakang pendidikan formal yang berbeda, mereka pun berinteraksi dengan guru yang berbeda, serta belajar untuk terjun langsung ke masyarakat sekitarnya. Bahkan meskipun terkadang mereka mengerjakan PR sekolah pada pagi hari ketika subuh. Semua waktu termanfaatkan dengan baik.

Namun saat ini anak-anak tersebut terlalu sibuk. Sekolah pendidikan formal hingga siang atau sore kemudian harus melakukan bimbingan belajar hingga malam dan mengerjakan PR yang menumpuk. Mereka bahkan hampir tidak memiliki waktu untuk bermain. Mereka sudah tidak memiliki waktu untuk pergi ke madrasah lagi. Hegemoni ini pun membuat para orang tua menjadi acuh, tidak peduli jika anaknya tidak ke madrasah lagi. Orang tua mulai merasa bahwa pendidikan formal lebih menjanjikan secara materi dibandingkan pendidikan moral.

Padahal apabila dilihat lebih jauh ngaos terbukti membuat anak-anak yang merupakan calon pemuda penggerak ini menjadi lebih memasyarakat. Mereka menemukan karakter mereka dari bergaul dengan lingkungan. Perilaku dan moral mereka terbentuk sejak kecil. Mereka juga memiliki waktu untuk bermain sehingga terhindar dari stress sejak dini.

Pada masa kini orang berlomba menyekolahkan anaknya tinggi tinggi. Mereka menginginkan anak-anaknya tumbuh menjadi orang-orang sukses dan baik namun mereka mengabaikan pendidikan karakter untuk membentuk moral anaknya. Mereka tidak menyadari bila pendidikan moral dan agama pada sekolah formal sangat minim. Bahkan untuk kuliah jurusan non-keagamaan hanya mendapat jatah mata kuliah sebesar 2 sks. Sehingga kemudian yang terjadi adalah moral dan karakter anak terkikis sedikit demi sedikit. Mereka tidak memiliki tempat untuk bermain. Banyak yang kemudian terlalu asik dengan dunia maya. Sosialisasi dengan masyarakat semakin berkurang. Nasionalisme pun tidak terjaga.

Memang akhir-akhir ini kita melihat banyak orang-orang berganti profesi. Mereka tidak lagi mencangkul melainkan berdasi. Namun saat ini pun makin marak kita temui bahwa korupsi dilakukan oleh orang-orang yang berpendidikan tinggi.

Apakah kita saat ini memerlukan sosok wali songo baru ? untuk mengingatkan dan memotivasi betapa ngaos ini menyenangkan dan bermanfaat. Bahwa kesuksesan tanpa moral adalah sesat. Seperti kata pepatah, ilmu yang tidak dihiasi dengan akhlak mulia maka ilmu itu lebih membahayakan daripada kebodohan[1].

[1] Syakir, Muhammad. 2011. Washaya Al-Abaai Lil Abnaai. Surabaya: Al-Miftah.


Satu respons untuk “AKANKAH MADRASAH PUNAH ?

Tinggalkan komentar